Buku
populer berjudul “Menuju Keluarga Hafizul Qur’an” yang berhasil menjadi kaca
pada diri saya seusai membacanya. Buku yang tidak bisa saya rubah dan beri
judul lain saat mereviewnya. Buku yang telah ditulis oleh Neny Suswati atau seseorang
yang akrab disebut Umi Neny ini berhasil mengoyak-ngoyak pikiran saya sebagai
pembaca.
Sungguh
benar adanya; buku terbitan Aura Publishing yang memberikan kisah inspiratif
menancapkan cinta menghafal Al-quran di keluarga tercinta.

Sedikit
cerita, lagi-lagi memang Tuhan punya segala cara untuk saya dalam setiap
pertemuan ataupun kesempatan event apapun yang akhirnya menjadi sebuah cermin.
Saat
saya pertama kali ditelepon oleh pihak Perpusda Provinsi Lampung, saya tidak
mengiyakan tawaran untuk menjadi moderator. Cukup bagi saya saat itu untuk
mengusulkan nama Umi Neny dan bukunya untuk dilakukan pembahasan di Perpusda. Karena
memang selain kenal dan merasa tidak enak jika harus menjadi moderator, saya
pun harus melakukan kegiatan lainnya. Bahkan, sudah dijadwalkan jauh-jauh hari.
Namun,
Allah berkata lain, kegiatan yang saya akan kunjungi pun berubah. Tidak jadi,
alias dibatalkan karena beberapa faktor. Saat itu juga saya seperti diingatkan
oleh pihak Perpusda, tentang kesanggupan untuk menjadi moderator bedah buku Menuju
Keluarga Hafizul Qur’an.
Saya
masih belum berani, apakah saya layak menjadi moderator di tengah acara yang
seserius ini? Akhirnya saya berkaca pada pertemuan sebelumnya, ketika Tuhan
memberikan saya pencerahan melalui beberapa pertemuan, termasuk pertemuan saya
bertemu dengan Ustad. Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA dan moderatori launching
dan bedah buku Menjemput Hidayah. Saya pun memberanikan diri bertanya kepada si
empunya buku, si penulis yang kini berusia 52 tahun.
Lalu
apa yang beliau katakan? Penulis ini ternyata sudah diberi tahu oleh pihak
penyelenggara, dan ia pun langsung menyatakan persetujuannya saya untuk
mendampinginya dalam acara yang berlangsung meriah tersebut. Subahanallah. Sampai
pada akhirnya acara tersebut pun berlangsung, dan saya memandu acara tersebut
dan dihadiri puluhan orang dengan aneka macam latar belakang, profesi, gelar,
dan status. Saya dan Umi Neny menjadi pusat perhatian peserta.
Di
awal saya pastikan, bahwa cerita yang sama apa yang telah saya tulis di atas
juga saya sampaikan di dalam acara tersebut. Karena keyakinan saya, yang datang
ke lokasi acara tersebut adalah orang-orang pilihan Allah, yang pada akhirnya
bisa hadir di acara yang penuh manfaat.
Saya
pun mengulas, sedikitnya tentang apa yang telah ditulis Umi Neny. Tak salah,
sebegitu produktifnya penulis yang pernah ikut bagian pada karya antologi
sebanyak 12 kali tersebut. Selain itu, 7 karya solonya pun, yakni, Bukan Cinta
Biasa, Umi dan Richie, Atas Nama Cinta, Menuju Keluarga Hafizul Quran, Beranda
Harish, Agar Hidup Terasa Tenang, dan Petualangan Harish ia pernah bubuhkan
pena dan dibaca banyak orang.
Salah
satunya yang akan saya bahas adalah buku Menuju Keluarga Hafizul Qur’an. Buku ini
kini tengah proses untuk diedarkan di Toko Buku sekala nasional dan tersebar di
seluruh Indonesia. Namun, fase buku ini berada memang sudah sangatlah panjang,
bahkan sudah laku 1.000 eksemplar dijual pribadi oleh penulisnya. Dalam bentuk
self publishing, buku ini pun layak disebut sebagai buku best seller. Kini seluruh
masyarakat Indonesia, bisa menikmati bukunya dan dicari di toko buku-toko buku.
Menuju
Keluarga Hafizul Qur’an, seperti sebuah cermin yang memberikan pesan khususnya
kepada saya sebagai seorang anak muda yang jauh dari kata sempurna, mendekatipun
tidak. Cermin yang berbanding terbali dihamparkan. Salam hormat akhirnya saya
haturkan, bahwa ketidaksempurnaan seseorang itu benar adanya. Manusia tidak
bisa selamanya merasa tinggi dan sama rata. Saya masih sangat jauh dari apa
yang telah ditulis oleh Umi Neny.
Saya
seperti dikoreksi, bahwa kebergunaan manusia dihidupkan dan dilahirkan di bumi
itu untuk apa? Saya seperti racun yang tengah digrogoti untuk sadar dan bisa
berjalan kembali lurus. Setidaknya meluruskan niat, dan merapatkan barisan di
sebuah jalan yang benar dan baik.
Lagi-lagi
disetiap babnya ada pesan yang bisa membuat saya menangis. Di awal, pada
pembuka di sebuah buku, atas apa yang telah direview oleh guru Umi Neny. Sebuah
catatan yang memang telah dituliskan umi, yakni tentang sebuah perjuangan
sebagai seorang wanita dalam bertarung nyawa saat melahirkan, sakit yang
dahsyat, sampai akhirnya mendapatkan buah hati, seorang anak yang saleh. Dalam buku
ini saya seperti ditunjukkan hal-hal yang kongkret. Bagaimana kesungguhan orang
tua dalam menjadikan putra-putrinya sebagai hafiz dan hafizah.
Sebuah
kebanggaan tentunya, bagi orang tua yang berhasil mengantar buah hatinya hafal
Al-Quran di zaman yang serba hedonisme dan modernisasi yang tinggi. Di tengah
keterpurukan akhlak anak-anak muda yang berbalut gincu ataupun semerbak
alkohol.
Hal-hal
sederhana pun umi tulis dengan begitu menarik. Bahasa yang sederhana namun
masih bisa dinikmati dengan keluarbiasaan. Cerita yang diksinya tidak terlalu
monoton, dan tidak membosankan. Terlebih memang buku yang digarap serius ini
pun di editori dua orang yang memang memiliki kompeten.
Bagaimana
umi menulis cerita-cerita tentang dirinya bertemu dengan suami pun begitu
mengharukan, komitmen yang dijalani pun luar biasa. Sebagai seorang anak muda
yang bermimpi juga membangnun rumah tangga kisahnya pun bisa dijadikan acuan. Umi
hanya meminta kepada Allah jodoh yang seiman.
Begitu
juga dengan cerita putranya yang belum genap di usia 20 tahun berani memaparkan
rancangan masa depannya kepada kedua orang tuanya. Memutuskan untuk menikahi
seorang wanita yang telah menjadi hafizoh. Ia mengajarkan kepada anaknya untuk
berani mengambil keputusan sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk keluar
dari pekerjaannya dan membangun usaha. Sedangkan istrinya pun akhirnya berhasil
menyelesaikan pendidikan perguruan tingginya. Seorang anak laki-lakinya
kelahiran 1995 kini menjelma dewasa sebagai seorang bapak.
Tentunya
pengalaman pertamanya menjadi ibu, hingga ia dan suami mengajarkan anak-anaknya
berani mengambil keputusan sendiri, dan berharap pada cita-cita yang mulia,
yakni anak-anaknya bisa hafal Al-Quran, yang juga merupakan cita-cita
pertamanya dalam hidup, sungguh mulia sebagai orang tua. Begitu renyah
diceritakan dan dinikmati hingga buku habis dibaca.
Ada
banyak hal lainnya yang ditulis umi, yang pada akhirnya saya pun tak bisa
merincinya satu persatu, karena memang buku yang sangat layak dibaca ini disajikan
untuk semua kalangan. Maka tak salah, yang hadir kemarin bukan hanya dari
kalangan yang sudah berkeluarga, juga yang masih meratap dan manatap masa
depannya. Setidaknya begitulah yang bisa saya sampaikan atas apa yang telah apa
yang ditugaskan kepada saya menjadi seorang moderator penulis yang kerap
menghadirkan suasana pesantren di dalam rumahnya kepada anak-anaknya. (Laporan
Yoga Pratama)
Mencerahkan. Semoga kita akan menjejak di jalan-Nya. Aamiin. 😊
ReplyDeleteMencerahkan. Semoga kita akan menjejak di jalan-Nya. Aamiin. 😊
ReplyDelete